Alam & Kearifan LokalBerandaDaerahLifestyleSeni & BudayaSigi Raya

Guma, Doke, Kaliavo: Warisan Tajam dari Tanah Kaili

Di balik ketajamannya, tersimpan filosofi. Di setiap ukiran pada gagangnya, mengalir cerita masa lalu yang hidup sampai kini. Di Kabupaten Sigi, senjata tradisional bukan hanya peninggalan sejarah melainkan nyawa budaya yang terus dijaga.

Ketika menyebut senjata tradisional Indonesia, mungkin yang terlintas pertama adalah keris dari Jawa atau mandau dari Kalimantan. Namun jauh di Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Sigi, masyarakat Kaili memiliki warisan bilah tajam yang tak kalah bermakna: Guma, Doke, dan Kaliavo. Ketiganya merupakan bagian penting dari identitas budaya Kaili, bukan hanya sebagai alat pertahanan, melainkan sebagai simbol jati diri dan kehormatan.

Senjata-senjata ini masih hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sigi, baik dalam peran adat maupun dalam bentuk cenderamata khas daerah. Dan di tengah modernisasi, upaya pelestarian pun terus dilakukan oleh tokoh adat, salah satunya Asmudin Susarante, anggota Dewan Adat Patanggota dan Pitunggota Ngata Kaili, yang kami temui di kediamannya, Desa Kotarindau, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Kamis (10/7/2025).

Simbol Kehormatan dalam Genggaman

“Bagi kami masyarakat Kaili, senjata tradisional seperti Guma, Doke, dan Kaliavo bukan sekadar alat untuk bertarung atau berburu,” ujar Asmudin membuka perbincangan. “Ia adalah simbol kehormatan, tanggung jawab, dan jati diri.”

Di masa lampau, seorang lelaki dewasa Kaili membawa Guma bukan untuk menunjukkan kekuatan, melainkan sebagai penanda kedewasaan dan kesiapan untuk melindungi keluarga dan komunitasnya. Dalam prosesi adat, senjata ini bahkan digunakan untuk menyambut tamu atau sebagai bagian dari upacara pernikahan.

“Sampai hari ini, Guma, Doke, dan Kaliavo adalah warisan yang kami rawat. Mereka mengajarkan kami agar tidak melupakan akar, agar tidak hilang ditelan zaman.”

Identitas yang Tertanam dalam Bilah

Ketika ditanya tentang arti penting senjata tersebut dalam identitas masyarakat Kaili, Asmudin menjelaskan bahwa ketiga senjata tradisional itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari struktur sosial dan budaya masyarakat setempat.

Guma, Doke yang menyerupai tombak, dan Kaliavo yang berfungsi seperti perisai dalam tangan, masing-masing memiliki makna tersendiri. “Dulu, seseorang bisa dikenali dari senjatanya bentuknya, ukirannya, hingga cara membawanya. Semua itu mencerminkan status sosial dan budaya.”

Menurut Asmudin, Guma melambangkan keberanian, Doke melambangkan ketelitian dan ketahanan, sementara Kaliavo memiliki makna lebih sacral.

Pelestarian di Tengah Tantangan

Namun melestarikan budaya tak selalu mudah. Salah satu tantangan utama adalah kesulitan bahan baku, terutama untuk membuat replika Guma yang dahulu menggunakan campuran logam seperti kuningan. Meskipun begitu, pengrajin lokal seperti yang berada di Desa Balaroa Pewunu, Kecamatan Dolo Barat, tetap didorong untuk melanjutkan tradisi pembuatan senjata ini.

“Kita juga dorong generasi muda agar mau belajar. Harapan kami, di era modern ini, mereka tidak hanya mengenal budaya melalui media sosial, tapi juga ikut menjaga dan melestarikannya secara nyata,” ujarnya.

Dari Warisan Sakral Menjadi Cendera Mata

Menariknya, saat ini Guma, Doke, dan Kaliavo telah bertransformasi menjadi cenderamata khas Kabupaten Sigi. Menanggapi fenomena ini, Asmudin memberikan pandangan bijak:

“Tidak masalah jika senjata itu dijadikan cenderamata, asalkan yang diberikan adalah replika, bukan yang asli. Kesakralannya harus tetap dijaga. Kami khawatir kalau tidak dibedakan, bisa menghilangkan marwah dan makna dari ketiga alat tersebut.”

Harapan untuk Generasi Mendatang

Di akhir perbincangan, Asmudin menyampaikan harapan agar masyarakat Sigi dan pemangku kepentingan di daerah lebih aktif mengedukasi dan memfasilitasi pelestarian budaya lokal, termasuk senjata-senjata tradisional tersebut.

“Warisan budaya ini adalah identitas kita. Jangan sampai hilang,” tegasnya. “Lewat Guma, Doke, dan Kaliavo, generasi muda bisa belajar tentang keberanian, tanggung jawab, kesetiaan, dan cinta terhadap tanah leluhur.”

Menjaga Budaya, Menjaga Diri

Guma, Doke, dan Kaliavo bukan sekadar senjata. Mereka adalah cermin masa lalu yang masih menyala di masa kini. Sebagai cenderamata, artefak, maupun simbol adat, ketiganya menjadi bukti bahwa budaya Kaili di Kabupaten Sigi masih hidup dan berdetak. Kini tinggal bagaimana kita masyarakat, pemerintah, dan generasi muda membaca ulang makna dari bilah-bilah warisan itu dan menjadikannya cahaya untuk masa depan.

 

Pewarta: Mohamad Gasalele
Editor: (Redaksi Interkini.co)

Show More
Back to top button